Soedjatmoko dan Makalah Berusia 38 Tahun

Nuringtyas Yogi Jurnawan
5 min readOct 10, 2020
Foto-Soedjatmoko-Tempo-11-November-1978, source: basabasi.co

Awal mula bagaimana dapat bertemu dengan makalah ini dapat dibilang secara tidak disengaja. Niatnya, mau cari buku elektronik dengan judul Managing The Clobal Commons karya William Nordhaus, peraih Nobel Ekonomi tahun 2018 dan salah seorang climate economist terkemuka dari Universitas Yale. Saat pencarian dilakukan di sebuah portal literatur ilegal (you know where), terdapat beberapa artikel dan buku dengan judul yang sama. Namun, di kolom pengarang, saya tidak menjumpai nama Nordhaus. Malah, di baris paling atas terdapat nama Soedjatmoko. Pertanyaan yang muncul di kepala saya kemudian; siapakahn orang dengan nama khas Indonesia yang belum pernah saya dengar namanya tapi punya tulisan menarik tentang persinggungan diplomasi internasional, ekonomi, dan lingkungan. Setahu saya, tidak banyak tokoh Indonesia yang concern dalam ketiga bidang ini secara komprehensif dan mendalam. Beberapa nama yang saya tahu antara lain adalah Pak Emil Salim, Bu Mari Elka Pangestu, Bu Armida Alisjahbana, dan beberapa yang lain. Maaf Pak Luhut Binsar Pandjaitan, anda masih belum bisa masuk ke dalam daftar.

Sebelum mendiskusikan mengenai apa isi artikel yang ditulis Pak Soedjatmoko, saya ingin mengenal terlebih dulu siapa sebenarnya beliau ini. Awalnya, saya mengira beliau adalah akademisi dari salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Namun, sepertinya dugaan saya salah. Hal pertama yang menyita perhatian saya; kredensial beliau yang tertulis di halaman pertama. Ternyata, saat artikel tersebut ditulis pada tahun 1982, Pak Soedjatmoko merupakan rektor dari United Nations University di Shibuya, Tokyo, Jepang. Pertanyaan berikutnya yang muncul; siapa orang Indonesia yang bisa menjadi rektor di sebuah universitas internasional dengan reputasi yang tentunya tidak main-main. Penelusuran saya kemudian masuk keh sebuah artikel Tirto.id yang berjudul Soedjatmoko: Sejarah Hidup Seorang Intelektual “Sosialis Kanan”.

Secara pribadi, saya tertarik mengenal kisah hidup Pak Soejatmoko dikarenakan dalam hidupnya yang lalu, beliau telah melakukan banyak peran mulai dari pengajar, diplomat, pelaku pers, hingga anggota konstituante. Lebih menariknya, Tirto.id dalam artikelnya malah tidak mengambil satu pun peran Pak Soedjatmoko yang telah saya tuliskan sebelumnya. Namun, lebih memilih kata ‘intelektual’ untuk menggambarkan cerita hidup beliau. Singkat cerita, dari artikel tersebut ada beberapa kisah hidup beliau yang cukup menarik, bukan atas pencapaiannya, melainkan lebih ke apa yang telah beliau pilih untuk lakukan beserta dengan konsekuensi yang harus dihadapinya. Pertama, beliau pernah dikeluarkan dari sekolah kedokteran atau Geeneskundige Hogeschool di zaman Belanda atau Ikai Daigaku di zaman Jepang hingga sempat ditahan beberapa minggu karena menolak kepalanya digunduli. Kedua, Pak Soejatmoko pernah menghabiskan sekitar satu semester di Harvard Littauer Center sembari mendirikan Kedutaan Indonesia di Washington. Bahkan, konon di suatu pertemuan, Dekan Harvard Kennedy School, Graham Allison, menyebutkan bahwa Pak Soedjatmoko merupakan salah satu alumni yang dibanggakannya, meskipun beliau pada akhirnya drop out karena harus memimpin pos perwakilan Indonesia di London. Ketiga, hubungan kekerabatannya dengan Sutan Sjahrir (bapak bangsa idola saya) dan aktivitasnya dalam ranah jurnalistik serta Partai Sosialis Indonesia. Keempat, hubungan jauh-dekatnya dengan Orde Lama maupun Orde Baru disertai berbagai peristiwa kompleks yang mengiringinya.

Source: Artikel terkait

Setelah mengenal kisah kisah hidup Pak Soedjatmoko, akan lebih mudah bagi saya untuk memahami konteks dan makna dari tulisannya. Seperti disebutkan sebelumnya, Pak Soedjatmoko menulis artikel tentang Managing The Global Commons ini tahun 1982 pada salah satu acara UNEP (United Nations Environment Programme) di Nairobi, Kenya. Nyatanya, artikel ini lahir lebih cepat 12 tahun dari buku yang ditulis oleh William Nordhaus dan juga tahun kelahiran saya. Dulu, pertama kali tertarik mempelajari tentang istilah The Commons (yang sampai saat ini saya masih belum paham betul apa padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia) dari Buku yang ditulis oleh Elinor Ostrom berjudul Governing The Commons. Sejauh saya memahami, The Global Commons dalam arti ini mungkin menyerupai sistem masyarakat dunia. Namun, yang Pak Soedjatmoko maksud dalam makalah ini berkaitan dengan our climate, our tropical rain forests, our seas, our soils and other essential components of planetary life support.

Makalah yang ditulis Pak Soedjatmoko tersebut mencoba menjelaskan kondisi dan persepsi masyarakat dunia tentang hubungannya dengan planetary life-support systems 10 tahun setelah Konferensi Stockholm. Beliau kemudian mengajukan sebuah pertanyaan untuk melakukan evaluasi; Mengapa implementasi program-program yang diadopsi dari Konferensi Stockholm tidak pernah dapat berjalan dengan semestinya? Meskipun kita telah menggunakan standard pengukuran yang sesuai dengan tujuan dalam pembatasan eksploitasi sumberdaya alam? Pak Soedjatmoko juga menyoroti masih tingginya laju deforestasi dan dampak negatif pada lingkungan dari ekspansi eksplorasi bahan bakar minyak berikut dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi pada era tersebut.

Menurut Pak Soedjatmoko, salah satu yang paling sulit dikontrol dalam pengelolaan lingkungan adalah implementasi dari rencana program pada level negara. Bahkan, beliau sudah mencoba menggambarkan ketiadaan data base dan analytical tools yang sistematis untuk mengkaji kompleksitas dampak perkembangan ekonomi terhadap degradasi lingkungan. Menariknya, beliau juga masih menggunakan istilah poor countries yang mungkin memang masih lebih akrab digunakan pada era tersebut daripada developing countries. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan bagaimana kementerian lingkungan hidup di berbagai Negara Ketiga masih belum memiliki kapabilitas dalam merekonsiliasi konflik dan menyusun prioritas birokrasi terkait pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana mereka mengurusi berbagai hal yang bersifat komersil. Ada pula pernyataan beliau yang membahas mengenai kegagalan penyusunan suatu sistem pendidikan untuk mempersiapkan manpower dan collective capacity sebagai upaya untuk meningkatkan sistem perencanaan dan pengawasan terhadap perubahan lingkungan dan sumberdaya alam. Yang terakhir ini bahkan masih menjadi salah satu topik diskusi terhangat dalam manajemen lingkungan di negara maju. Namun, setahu saya, di Indonesia langkahnya sama sekali masih jauh dari kata jauh.

Di sisi lain, makalah ini juga membahas mengenai bagaimana pergerakan bisnis dan industri dalam upaya untuk menghindari resesi ekonomi pada masa tersebut. Namun, seringkali perhatian mereka terhadap dampak bisnisnya terhadap aspek kerusakan lingkungan dalam proses produksi mereka masih luput dari pengawasan sehingga dapat menyebabkan krisis lingkungan. Pak Soedjatmoko sebenarnya juga sedikit banyak telah menyinggung tentang perubahan iklim meskipun beliau membahasakannya dengan proses alam seperti pelepasan karbondioksida ke atmosfer, eksploitasi laut, dan hutan hujan tropis secara masif dan kontinyu yang dapat mengakibatkan kerusakan alam yang irreversible. Pertimbangan lain yang juga menjadi penting pada level nasional maupun internasional adalah bahwa sistem pemerintah dalam suatu negara maupun lintas negara belum mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam menyelesaikan conflict of interests dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh, dalam ranah komunikasi, proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan berdasarkan teknologi seperti penginderaan jauh dengan citra satelit belum memiliki sistem manajemen yang legitimate dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Source: Artikel terkait

Pada bagian terakhir makalahnya, Pak Soedjatmoko mengatakan bahwa kita harus mulai merancang mekanisme desain mengenai manajemen lingkungan di tingkat regional maupun global melalui institusionaliasi. Pelembagaan diharapkan mampu mengatasi kompleksnya ancaman perubahan dan kerusakan lingkungan dengan secara kooperatif mampu mengakomodir kepentingan pemerintah dan bisnis serta memberikan suara pada ahli dan ilmuwan pada konservasi lingkungan. Kita sebagai masyarakat global pun juga harus memiliki kesadaran akan humanitas dan sense of responsibility agar ketersediaan sumberdaya yang ada saat ini masih dapat diberdayakan oleh generasi mendatang. Kemudian, saya pun menyadari satu hal, apa yang saya tuliskan ini semoga dapat menjadi amplifikasi pemikiran Pak Soedjatmoko hampir 40 tahun lalu hingga sampai jauh, jauh di kemudian hari.

--

--