Untuk mereka

Nuringtyas Yogi Jurnawan
2 min readJan 8, 2018

Tuhan hanya akan menilai hamba-Nya berdasarkan tingkat ketaqwaannya, bukan wajahnya, bukan hartanya, pula bukan karena sanak saudaranya. Namun, bagaimana jika Tuhan sendiri yang memberi ujian berlebih untuk mereka dapat bertaqwa? Belum lagi menyoal manusia-manusia ‘sempurna’ tak tau diuntung yang selalu egois memikirkan langkah pintas mana yang dapat ditempuh untuk menjangkau surga-Nya. Kita seringkali lupa, beragama tidak hanya ihwal menaati ritus peribadatan dan persuasi hal-hal yang bersifat transedental, namun juga memperhatikan sekitar, terlebih mereka-mereka yang terpinggirkan.

Saudara-saudara kita ini, para penyandang disabilitas, harus berjuang keras memutar otak untuk menemukan bagaimana caranya dapat beribadah seperti halnya kita. Tidak sedikitkah kita peduli? Tentu tidak, terpikir saja setelah ini. Bagaimana mereka dapat memeluk Tuhannya kalau untuk mencapai tempat peribadatannya saja mereka harus tertatih, terbata saat membaca kitab suci-Nya, dan merintih ketika harus merapalkan doa-doa dengan nada nyaring. Semakin tidak kita pedulikan mereka akan semakin terpinggirkan pada tempat terakhir mereka seharusnya meminta tolong.

Berbagai tempat ibadah semakin sibuk membangun kemegahan arsitektur bangunannya yang tanpa disadari diikuti dengan ambrolnya nilai moral dan kemanusiaan dalam pilar-pilarnya. Keraguan akan semakin dekatnya hari akhir menjadi bias hari ke hari. Menara yang mencakar langit dibangun gagah menjulang, namun lupa membuat jalur untuk kursi roda maupun penanda jalan untuk tuna netra. Adzan dan lonceng bersahutan bertambah keras kemudian hari tanpa mempedulikan bagaimana mereka dapat menjangkau mereka yang tidak dapat mendengar. Terlebih, mereka yang mengalami disabilitas mental seperti tak memiliki ruang gerak.

Dalih memenuhi kebutuhan mayoritas yang menjadi prioritas seakan menjadi tameng untuk terabaikannya hak-hak mereka yang terpinggirkan. Yang menjadi pertanyaan, apa karena mereka minoritas lantas tidak layak menjadi prioritas? Fakta-fakta upaya pergerakan advokasi yang telah ada tentu harus diperjuangkan, begitu pula perintisan kitab suci dalam bentuk braille dan keramahan lain dari Tuhan terhadap penyandang disabilitas. Tentu kita tak akan membiarkan mereka menanggung gelap dan sunyinya dunia setelah mati yang jangka waktunya seperti alegori James Joyce; jika satu butir pasir di Gurun Sahara memiliki periode seribu tahun, kira-kira sebegitu panjangnya kita akan menghabiskan waktu di dalamnya.

--

--